Tuesday 15 July 2008

JURNAL 2

MENGAPA TI BUKAN MASALAH LAGI

Oleh Nicholas G. Carr

Pada tahun 1968, seorang insinyur muda Intel, Ted Hoff, menemukan cara meletakkan sirkuit yang digunakan dalam prosesor komputer ke dalam sepotong kecil silikon. Penemuan microprosessornya ini mendorong serangkaian penemuan teknologi -komputer dekstop, jaringan lokal dan wide area, perangkat lunak perusahaan, dan internet- yang telah merubah dunia usaha. Saat ini, tidak seorangpun membantah bahwa TI telah menjadi tulang punggung perdagangan. Hal ini menjadi dasar operasi masing-masing perusahaan, merangkai pipa supply chain, dan meningkatkan link usaha ke pelangan yang dilayaninya. Perubahan dolar dan euro yang tajam tak akan berarti tanpa bantuan sistem komputer.

Bersamaan dengan meluasnya kekuatan dan kehadiran IT, perusahaan melihat hal ini sebagai sumber daya yang penting bagi kesuksesannya, fakta ini tercermin dalam kebiasaan belanja perusahaan. Pada tahun, 1965, berdasarkan studi Departemen Analisa Ekonomi Biro Perdagangan Amerika, kurang dari 5% pembelanjaan modal perusahaan di Amerika dibelanjakan dalam tekhnologi informasi. Setelah pengenalan PC di tahun 1980an, persentase belanja meningkat menjadi 15%. Pada tahun 1990an, pembelanjaan tersebut mencapai lebih dari 30%, dan pada akhir dekade tersebut pembelanjaan tersebut hampir mendekati 50%. Bahkan dengan sluggishness dalam pembelanjaan teknologi, bisnis di seluruh dunia tetap melakukan pengeluaran lebih dari $ 2 triliun per tahun untuk TI.

Tetapi venerasi TI berlanjut semakin dalam dari pada dollar. Hal ini dibuktikan dengan pergeseran perilaku top manajemen. Dua belas tahun lalu, sebagian besar eksekutif memandang rendah komputer sebagai alat bantu kaum proletar -mesin ketik dan kalkulator yang mahal- yang paling cocok digunakan oleh pegawai rendahan seperti sekretaris, analis dan teknisi. Dahulu sangat jarang seorang eksekutif bersedia mengijinkan jari-jarinya menyentuh keyboard, hanya sedikit teknologi informasi digunakan dalam pemikiran strategisnya. Saat ini, hal itu telah berubah total. Para Eksekutif puncak saat ini secara rutin membicarakan mengenai nilai strategis teknologi informasi, berkaitan mengenai bagaimana mereka dapat menggunakan TI untuk memperoleh keuntungan bersaing, berbicara mengenai digitalisasi model bisnis mereka. Sebagian besar telah menunjuk seoarang kepala bagian informasi (chief information officers) dalam tim senior manajemennya, dan sebagian besar juga telah mempekerjakan firma konsultasi strategi untuk menyediakan gagasan-gagasan segar berkenaan dengan bagaimana cara untuk meleverage investasi TI untuk diferensiasi dan keuntungan.

Dibalik perubahan dalam pemikiran tersebut terdapat asumsi sederhana, yaitu: potensi TI dan ubiguitas yang telah meningkat, begitu juga dengan nilai strategisnya. Hal tersebut merupakan asumsi yang masuk akal, bahkan intuitiv sekalipun. Tetapi hal tersebut telah disalahartikan. Apa yang menjadikan suatu sumber daya bernilai strategis –apa yang menjadikan hal tersebut berkapasitas untuk dijadikan sebagai dasar keuntungan kompetisi yang berlanjut- bukan lah ubiguitasnya tetapi adalah kelangkaannya. Anda hanya akan mendapatkan keuntungan atas pesaing anda dengan mempunyai atau melakukan sesuatu yang pesaing anda tidak miliki atau lakukan. Pada saat ini, fungsi dasar TI –penyimpanan data, pemrosesan data, dan pengiriman data- telah tersedia dan affordable bagi semua orang.

Kekuatan dan presence utamanya telah dimulai dengan merubahnya dari sumber daya strategis potensial menjadi faktor komoditas produksi. Meretia telah menjadi pengorbanan dalam melakukan bisnis yang harus dibayar oleh semua pihak tetapi tidak memberi jarak bagi siapapun.

TI dapat dipandang sebagai serial teknologi mutakhir yang diadopsi secara luas yang telah membentuk kembali industri dalam kurun waktu dua abad terakhir –berawal dari mesin uap dan rail kereta api ke telegraph dan telepon hingga generator listrik dan mesin konstribusi internal. Secara ringkas, dengannya telah dibangun infrastruktur perdagangan, semua teknologi ini telah membuka kesempatan untuk masa depan- menunjukkan perusahaan untuk memperoleh manfaat nyata. Tetapi sejalan dengan peningkatan ketersediaan dan penurunan biayanya –seiring meretia menjadi ubiguitas- meretia menjadi komoditas input. Berawal dari tujuan strategis, meretia menjadi maya; meretia tidak lagi berarti. Hal ini lah yang sebenarnya terjadi pada TI saat ini, dan implikasi bagi manajemen TI perusahaan profound.

Dari menyerang ke bertahan

Dari sudut pandang praktis, pelajaran yang paling berharga yang harus dipelajari dari teknologi infrastruktur terdahulu adalah hal-hal sebagai berikut: ketika sumber daya menjadi lebih penting bagi kompetisi tetapi tidak berkaitan dengan strategi, resiko yang ditimbulkan hal tersebut akan akan lebih penting daripada manfaat yang disediakan. Contohnya listrik. Saat ini, tidak ada perusahaan yang membangun strategi berkenaan dengan penggunaan listrik, meskipun begitu lapse singkat dalam rantai supply dapat di divestasi (sebagaimana temuan beberapa bisnis di California, selama krisis energi pada tahun 2000). Risiko operasional terkait dengan TI sangat banyak –glithches teknikal, keusangan, jasa outages, vendor atau partner yang tidak cakap, pembobol keamanan, bahkan terorisme- dan beberapa telah menjadi magnified seiring dengan perjalanan perusahaan dari pengendalian yang lemah, sistem perorangan ke terbuka, shared one. Saat ini, kerusakan pada TI dapat melumpuhkan kemampuan perusahaan untuk membuat produk, memberikan jasa, dan berhubungan dengan pelanggannya, belum lagi merusak reputasi perusahaan. Masih sedikit perusahaan yang telah melakukan identifikasi dan menyikapi kelemahannya. Mengkhawatirkan apa yang mungkin salah mungkin bukan pekerjaan yang membangakan sebagaimana meramalkan masa depan, tetapi hal ini merupakan pekerjaan penting saat ini.

Dalam jangka panjang, melalui besarnya resiko TI yang dihadapi oleh sebagian besar perusahaan lebih menjemukan daripada bersifat musibah. Yaitu, pengeluaran yang berlebih. TI bisa menjadi komoditas, dan biayanya bisa turun dengan cukup cepat untuk memastikan bahwa kemampuan baru secara cepat tersebar, tetapi fakta terbesar adalah bahwa TI entwined dengan berbagai alat/tujuan fungsi bisnis yang akan terus mengkonsumsi porsi terbesar pembelanjaan perusahaan. Bagi sebagian besar perusahaan, hanya untuk bertahan dalam binis saja membutuhkan pengeluaran yang besar untuk TI. Yang terpenting –dan hal ini hold true setiap input komoditas- adalah kemampuan untuk memisahkan investasi penting dari yang bersifat discresi, tidak dibutuhkan atau bahkan kontra produktiv.

Pada tingkat yang tinggi, manajemen biaya yang terkuat membutuhkan rigor dalam mengevaluasi tingkat pengembalian yang diharapkan dari investasi sistem, lebih banyak kreatifitas dalam mengeksplorasi alternatif yang lebih sederhana dan lebih murah, dan lebih terbuka untuk outsourcing dan partnership lainnya. Tetapi sebagian besar perusahaan juga dapat meraup penghematan yangsignifikan hanya dengan cara memotong limbah. Komputer personal merupakan contoh yang baik. Setiap tahun, dunia usaha membeli lebih dari 100 juta PC, sebagian besar adalah mengganti model yang lebih tua. Belum lagi pekerja mayoritas vast yang menggunakan PC hanya sebatas beberapa aplilasi sederhana –pemrosesan kata, spreadsheet, e-mail, dan web browsing. Aplikasi-aplikasi ini telah menjadi teknologi yang mapan selama bertahun-tahun: meretia membutuhkan hanya beberapa fraksi kemampuan komputer yang disediakan oleh microprosesor saat ini. Meskipun begitu, perusahaan terus roll out dalam upgrade hard ware dan soft ware.

Sebagian besar dari pembelanjaan tersebut, sejujurnya dapat dikatakan, dipicu oleh strategi vendor. Suplier besar hardware dan software telah menjadi mahir dalam mengemas hardware dan software baru dengan cara tertentu sehingga mendorong perusahaan untuk membeli komputer, aplikasi dan perangkat jaringan baru lebih sering dari yang seharusnya mereka butuhkan. Saatnya telah tiba bagi pembeli TI untuk membalikkan nilai tawarnya, untuk menegosiasikan kontrak yang menjamin kegunaan jangka panjang atas investasi PC nya dan menentukan batasan yang kuat atas biaya upgrade. Dan jika vendor mengalangi, perusahaan harus mau untuk mengeksplorasi solusi yang lebih murah, termasuk aplikasi yang open source dan jaringan PC yang bare bone, meskipun hal ini berarti mengorbankan fitur. Jika perusahaan menginkan bukti mengenai jenis penghematan yang bisa diselamatkan, perusahaan hanya perlu melihat profit margin Microsoft.

Sebagai tambahan untuk lebih pasive dalam pembeliannya, perusahaan telah sloppy dalam penggunaan TI nya. Hal itu biasanya benar dalam penyimpanan data, yang mana harus memperhitungkan lebih dari setengah pengeluaran TI perusahaan. Halangan atas apa yang telah disimpan dalam jaringan perusahaan mempunyai hubungan yang sedikit dengan pembuatan produk atau pelayanan pelanggan –hal tersebut terdiri atas e-mail dan file yang disimpan oleh para pegawai, termasuk spam yang besar mencapi terabyte, MP3 dan video clip. Dunia komputer mengestimasikan bahwa sekitar 70% kapasitas penyimpanan jenis jaringan Windows adalah sampah –sebuah beban yang sangat besar yang tidak diperlukan. Membatasi kemampuan pegawai menyimpan file tanpa pandang bulu dan segera mungkin akan terlihat tidak mempunyai perasaan bagi sebagian manajer, tetapi hal ini akan memberikan akibat nyata pada bawahan. Saat ini TI telah menjadi pembelanjaan modal yang paling dominan bagi sebagian dunia usaha, tak ada alasan bagi sampah dan kecerobohan.

Setelah mengetahui kemajuan teknologi yang pesat, menunda investasi TI bisa menjadi cara yang ampuh untuk memangkas biaya –sementara juga menurunkan peluang perusahaan menjadi saddled dengan teknologi yang cepat usang. Benyak perusahaan selama tahun 1990an, terburu-buru dalam melakukan investasi TI nya karena berharap dapat menangkap keuntungan yang pertama atau karena mereka takut tertinggal. Terkecuali pada kasus-kasu tertentu yang sangat jarang, kedua hal yaitu harapan dan ketakutan tersebut tak terjamin. Pengguna teknologi yang paling pandai –dalam hal ini, keberhasilan Dell dan Wall-Mart- menunggu waktu yang tepat hingga masa penghematan, menunggu melakukan pembelian hingga standar dan praktik yang terbaik menjadi solid. Mereka membiarkan pesaing mereka yang tidak sabar menanggung biaya eksperimen yang tinggi, dan kemudian mereka membabat habis pesaingnya, dengan pembelanjaan yang sedikit dan mendapatkan manfaat yang lebih.

Beberapa manajer mungkin mencemaskan bahwa pelit dengan pengeluaran dollar untuk TI akan merusak posisi saing mereka. Tetapi sebuah studi atas pembelanjaan TI memperlihatkan bahwa pengeluaran yang lebih besar jarang diartikan sebagai hasil keuangan yang lebih baik. Kenyataannya adalah sebalinya. Pada tahun 2002, perusahaan konsultasn Alinean membandingkan pengeluaran untuk TI dan hasil keuangan untuk 7,500 perusahaan besar di Amerika dan menemukan bahwa perusahaan yang mempunyai kineja terbaik cenderung mempunyai kebijakan keuangan yang ketat. 25 perusahaan yang mendapatkan pengembalian ekonomi tertinggi, contohnya, membelanjakan secara rata-rata 0.8% dari pendapatannya pada TI, sementara perusahaan sejenisnya membelanjakan 3.7%. Studi terakhir yang dilakukan oleh Forrester Research menunjukkan hal yang sama, bahwa perusahaan yang paling boros dalam pembelanjaan TI jarang memperoleh hasil yang terbaik. Bahkan Larry Ellison dari Oracle, salah satu dari salesman terbesar, mengakuinya pada suatu wawancara terakhir bahwa ”sebagian besar perusahaan mengeluarkan terlalu banyak dalam (dalam TI) dan mendapatkan pengembalian yang sangat kecil”. Sejalan dengan kesempatan dalam keunggulan berdasar TI yang cenderung menyempit, hukuman atas kelebihan pengeluaran akan cenderung meningkat.

Manajemen TI seharusnya, sejujurnya, menjadi bosan. Kunci kesuksesan, bagi mayoritas perusahaan, adalah dengan tidak melihat keuntungan secara agresiv tetapi mengatur biaya dan risiko secara meticulously. Jika, seperti sebagian eksekutiv, anda telah memulai mengedepankan posisi bertahan dalam TI di dua tahun terakhir, membelanjakan lebih sederhana dan berpikir lebih prakmatis, anda telah berada di jalur yang benar. Tantangannya adalah untuk terus berada dalam posisi tersebut ketika siklus bisnis menguat, dan pengulangan yang berlebihan mengenai nilai startegis TI meningkat.

Untuk membaca artikel lain, kunjungi HBS Working Knowledge, sebuah sumber analisa, informasi dan riset bisnis online.

Komentar atas artikel “Why IT Doesn’t Matter Anymore”

Artikel tersebut membahas mengenai perkembangan teknologi yang telah merubah perilaku manajemen perusahaan serta perkembangan strategi manajemen dalam menghadapi perkembangan teknologi informasi (TI). Manajemen semula beranggapan bahwa komputer hanya sekedar mesin ketik dan kalkulator dalam bentuk lebih mewah. Saat ini manajemen telah memandang komputer dan teknologi informasi sebagai alat untuk mencapai keunggulan kompetitif. Pandangan tersebut merubah perilaku manajemen dalam menghadapi perkembangan teknologi. Manajemen menjadi lebih agresif dalam memanfaatkan teknologi untuk memperoleh peluang keunggulan kompetitif. Perubahan dunia usaha yang paling utama adalah lahirnya posisi kepala bagian informasi (chief information officer) dalam bentuk bisnis saat ini yang menandakan perubahan pandangan manajemen atas peran TI. Seiring dengan perubahan perilaku manajemen, perkembangan TI telah mendorong TI menjadi komoditas perdagangan. Para vendor memanfaatkan hal ini dengan merekayasa pengemasan komoditas TI sehingga menarik manajemen untuk membeli komputer dan perangkat TI lainnya meskipun perusahaan belum tentu membutuhkan. Perilaku vendor tersebut membutuhkan kebijakan manajemen dalam mengatur pembeljaan TI mereka. Strategi devensiv dalam pembelanjaan TI sebagaimana ditawarkan dalam artikel ini merupakan langkah yang bijak. Perusahaan dapat menghemat biaya percobaan perangkat baru yang akan menjadi beban bagi perusahaan pesaingnya yang menerapkan strategi ofensiv dalam pembelanjaan TI nya.

Contoh kasus

Kasus yang paling menarik dalam ”perang” pemanfaatan TI untuk mencapai keunggulan kompetitif di Indonesia bisa dilihat dalam dunia perbankan. Sebagai contoh adalah Bank Central Asia (BCA) dan Bank Mandiri. Saat ini kedua bank tersebut merupakan pemimpin dalam dunia perbankan di Indonesia. Perkembangan TI dalam dunia perbankan ini meliputi hal-hal antara lain ATM, internet banking, SMS banking, dan phone banking. Penggunaan TI dalam perbankan ini bertujuan mencoba menarik nasabah dengan fitur kemudahan akses.

Bank Mandiri memamfaatkan TI untuk memberikan pelayanan berupa ATM, m-ATM, SMS banking, internet banking dan call Mandiri. Sementara BCA juga menggunakan TI yang serupa untuk memberikan pelayanan kepada nasabahnya. Produk-produk BCA yang menggunakan TI meliputi ATM, debit BCA, tunai BCA, m-BCA, klik BCA, dan phone BCA. Semua fitur produk-produk perbankan tersebut bertujuan memberikan kemudahan bagi nasabahnya dalam melakukan transaksi perbankan. Pemberian kemudahan melalui penggunaan TI ini diharapkan mampu menarik minat nasabah potensial untuk menjadi nasabah bank tersebut.

Manfaat TI

Sebagai mahasiswa, peran TI tentu sangat penting. Kemudahan akses atas informasi membantu dalam pengembangan dan penyebaran pengetahuan. Informasi yang mudah diakses juga akan sangat membantu dalam proses penelitian suatu masalah serta memperoleh referensi yang memadai untuk menulis suatu makalah. Peran TI dalam menyediakan kemudahan akses informasi membuka wawasan kita atas suatu peluang yang mungkin bisa kita manfaatkan. Sebagai contoh adalah informasi lowongan pekerjaan dan peluang bisnis. Semua informasi tersebut bisa kita akses melalui internet dengan bantuan TI.

No comments: